INQUIRY
CONTACT
Gramedia Academy

ABAIKAN HAL REMEH, UTAMAKAN YANG PENTING SAJA

Prioritas

Post by. Yunira Noor Rachmah & Aulia Rachma

Date: March 28, 2022

Rekan-rekan, apakah pernah merasa pusing mengerjakan banyak pekerjaan hingga bingung mau mulai dari mana, atau ketika sudah mengerjakan banyak hal tetapi hasilnya tidak memuaskan? Kalau jawabannya iya, rekan-rekan harus mencoba menerapkan esensialisme.


Esensialisme adalah suatu tindakan yang lebih mengutamakan hal-hal yang dianggap penting. Menurut Greg McKeown dalam bukunya yang berjudul Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less (2014), esensialisme adalah sebuah pendekatan yang disiplin, sistematis untuk menentukan di mana letak titik kontribusi tertinggi kita, kemudian melakukan eksekusi atas hal-hal tersebut hampir tanpa kerepotan.


Memilih jalan menjadi seorang esensialisme artinya rekan-rekan memilih untuk melakukan hal-hal yang penting saja; berani untuk mengatakan “tidak” pada suatu hal yang sebetulnya tidak terlalu penting. Contohnya, ketika rekan-rekan sudah berjanji untuk menemani saudara yang akan dioperasi tetapi tiba-tiba atasan meminta untuk datang ke kantor sesegera mungkin. Apakah rekan-rekan akan berusaha untuk berada di kedua tempat tersebut atau hanya memilih salah satunya? Jika rekan-rekan memilih menjadi seorang yang esensialis, tentu jalan yang diambil adalah memilih salah satu yang paling penting sesuai dengan prioritasnya.


Rasanya, banyak orang di Indonesia yang lebih memilih jalan menjadi non-esensialisme dibanding esensialisme karena sulit untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang tidak penting. Seseorang yang non-esensialisme memilih untuk mengerjakan banyak hal sehingga fokusnya akan terbagi-bagi dan hasilnya pun menjadi tidak memuaskan. Berbeda halnya dengan seorang esensialisme, mereka cenderung berfikir dan mencermati terlebih dahulu apa yang akan mereka kerjakan. Itulah sebabnya mereka lebih sedikit melakukan suatu pekerjaan, namun hasilnya dapat memuaskan.


Dalam buku karya Greg McKeown ini juga menuliskan tiga metode yang harus dilakukan agar seseorang dapat menjadi seorang esensialisme, yaitu:


1. Eksplorasi

Eksplorasi merupakan tahap awal untuk menjadi seorang esensialisme. Di tahap ini, seseorang akan mencermati banyak hal remeh demi mendapatkan sesuatu yang penting. Artinya, ketika dihadirkan banyak opsi, di tahap ini rekan-rekan harus mengamati satu per satu opsi tersebut.


Pada tahap ini akan muncul beberapa pertanyaan seperti “apakah saya harus melakukannya?”, “apa keuntungan yang saya dapatkan jika saya melakukan ini?”, dan sejenisnya.  Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya seseorang harus mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Kenalilah pola pikir rekan-rekan ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit. Rekan-rekan juga bisa memanfaatkan bermain dan tidur untuk mengeksplorasi. Sebagian orang menganggap bermain dan tidur merupakan sesuatu yang buang-buang waktu. Tetapi, bagi seorang esensialis, bermain dan tidur dapat dijadikan alat untuk mengeksplorasi. Dengan bermain, kita dapat melihat banyak opsi yang tersedia dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terlihat. Bermain juga dapat melawan stres sehingga membuat pikiran kita menjadi lebih jernih. Sama halnya dengan bermain, tidur juga memiliki manfaat. Para peneliti menerangkan bahwa ketika tidur, otak manusia bekerja keras menata ulang informasi. Kemudian ketika terbangun, otak mungkin telah membuat koneksi dengan saraf-saraf baru. Itulah mengapa mendapatkan tidur yang cukup, manusia dapat berpikir dengan baik dan memecahkan masalah dengan solusi yang tepat.


2. Eliminasi

Pada tahap ini, seseorang akan memangkas hal-hal yang tidak terlalu penting. Di tahap ini rekan-rekan harus berani untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Seringkali seseorang mengatakan “ya” hanya karena ingin menyenangkan hati lawan bicara. Padahal, kemampuan seseorang dalam memberikan kontribusi yang paling tinggi bermula ketika dia berani untuk mengatakan “tidak”. Keberanian untuk mengatakan “tidak” merupakan sebuah kunci proses eliminasi. Meskipun sulit, rekan-rekan bisa mencobanya dengan cara halus disertai alasan yang logis atau memberi alternatif pilihan lain.


Misalnya, pekerjaan Hendro adalah seorang videographer. Tetapi suatu waktu, atasannya ingin dia berada di dalam layar, atasan menginginkannya menjadi tokoh utama di dalam video. Hendro tidak harus mengatakan “ya” hanya karena takut atau ingin menyenangkan atasan. Jika Hendro memilih menjadi seorang esensialisme, dia bisa mengatakan “tidak” dengan elegan seperti, “Saya merasa terhormat karena dapat dipercaya untuk melakukan pekerjaan tersebut tetapi saya ingin memberikan hasil yang terbaik. Mengingat komitmen-komitmen saya yang lain saya tidak akan mampu melaksanakan pekerjaan yang saya banggakan seandainya saya melakukan pekerjaan tersebut”.


3. Eksekusi

Eksekusi artinya menghilangkan berbagai hambatan yang dapat mengganggu fokus. Di tahap ini, seseorang harus fokus pada tujuan dan sesuatu yang dipilihnya. Seringkali, melakukan pekerjaan yang tidak esensial dapat mengganggu pekerjaan utama yang sebetulnya esensial. Misalnya, rekan-rekan diberi tanggung jawab untuk melakukan suatu pekerjaan dan menginginkan pekerjaan tersebut terlaksana dengan sempurna. Banyak sekali ide yang muncul agar pekerjaan tersebut terlaksana dengan sempurna. Di sini, rekan-rekan perlu menghilangkan hambatan; alih-alih memiliki gagasan “pekerjaan ini harus sempurna atau tidak sama sekali”, rekan-rekan lebih baik berpikir secara esensial dengan gagasan “selesai lebih baik daripada sempurna”. Dengan menghilangkan hambatan tadi, maka pekerjaan akan menjadi lebih mudah. Tetapi jangan sampai gagal paham, memiliki gagasan tersebut bukan berarti pekerjaannya dikerjakan seenaknya dan tidak maksimal.


Itulah pola esensialisme dan bagaimana cara menerapkannya. Bagaimana, rekan-rekan, apakah tertarik untuk mencoba menerapkan esensialisme? Sekiranya memang diperlukan, esensialisme baik untuk dicoba. Salam #PeopleDevelopment!