Mengetahui, Memaknai, dan Menyikapi HaKI

Rekan-rekan, bulan lalu Citayam Fashion Week diterpa isu yang kurang mengenakkan. Ada beberapa pihak yang melakukan klaim Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atas Citayam Fashion Week; dan bahkan salah satunya adalah pasangan figur publik ternama Indonesia. Langsung saja, berbagai portal media cetak, digital, serta televisi ramai-ramai membahas soal itu. Tak hanya itu, banyak warganet dari berbagai platform ikut mengecam para pihak yang berusahan mengajukan klaim tersebut pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Menurut warganet, tidak ada yang boleh atau merasa berhak melakukan klaim HaKI atas Citayam Fashion Week karena itu merupakan komunitas yang terbentuk akibat berkumpulnya orang-orang yang memiliki minat seragam di sebuah ruang publik. Jika berhasil diklaim, maka Citayam Fashion Week dianggap kehilangan identitasnya. Selain itu, siapapun yang menggunakan jargon “Citayam Fashion Week” maka harus membayar biaya sejenis royalti pada pihak yang memiliki klaimnya. Walaupun pada akhirnya dicabut, tapi tetap saja keributan sudah terlanjur terjadi. Lalu, apa itu HaKI, dan kenapa begitu penting sampai banyak orang meradang karenanya?

 

HaKI, atau Hak atas Kekayaan Intelektual, merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara tertentu kepada seseorang atau kelompok orang yang telah menuangkan kreativitasnya dalam wujud karya. HaKI sudah diatur oleh negara melalui UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bagi yang melanggar dalam bentuk plagiarisme, penggandaan, dan penyebarluasan, maka akan dipidana paling lama satu tahun dengan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (pasal 43 sampai 51; pasal 113 ayat 1).

 

Urgensi dari pendaftaran HaKI bisa dibilang penting, rekan-rekan. Karena jika rekan-rekan, baik secara individu, kelompok, atau secara kelembagaan, memiliki kekayaan intelektual maka lebih baik mendaftarkan HaKI agar produk, merek, dan/atau ide kreatif tidak diklaim secara sepihak oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Akan sayang sekali kalau hal tersebut terjadi sementara rekan-rekan tak bisa menuntut secara hukum karena tidak adanya pernyataan atas hak intelektual tersebut.

 

Kembali ke usaha klaim HaKI atas Citayam Fashion Week, menurut para pengklaim, hal itu mereka lakukan dengan niatan baik untuk membantu para pelaku fashion di sana agar lebih terakomodir (katanya). Tapi nyatanya banyak yang menganggap itu sebagai puncak gunung es saja, karena apa yang didalamnya lebih besar dan berharga dari sekadar membantu mengakomodasi; misalnya, konten YouTube yang nanti terkonversi sebagai adsense yang mendatangkan pundi-pundi. Secara tak langsung, itu dianggap sebagai upaya memperkaya diri sendiri atau kalangan tertentu. Berangkat dari hal-hal tersebut, maka banyak yang menganggap proses klaim atas Citayam Fashion Week adalah sesuatu yang tidak etis. Akan lebih pantas jika mereka yang eksis di dalamnya yang menikmati hasil dari apa yang mereka lakukan, alih-alih mereka yang “baru datang” dan menganggap seolah Citayam Fashion Week merupakan buah pikiran mereka.

 

Hak atas Kekayaan Intelektual memang penting untuk melindungi karya, merek, rahasia dagang, desain insdustri, dan lain-lain yang sifatnya dapat dikomersilkan. Selayaknya, itu memang harus didaftarkan agar dapat diakui khalayak dan tidak disalahgunakan pihak tak bertanggungjawab. Tapi akan salah jika sesuatu yang bukan merupakan hasil karya intelektualnya diklaim sebagai karya perseorangan atau perseroan tertentu. Semua warga negara memang dipersilakan untuk mengajukan HaKI, tapi ya, coba disikapi dengan etika dan pola pikir yang baik agar tidak menimbulkan polemik.

Salam# #PeopleDevelopment!

Category: Gramedia Professional Academy – Blog

Title: Mempertimbangkan Career Switch dan Menjadikannya Pilihan

Post Date: 15 Agustus 2022

Author: Thomas Adrian

Keywords: persimpangan jalan

 

Rekan-rekan, yang namanya belokan itu hanya ada dua: kiri dan kanan. Sering kita menemui situasi di mana kita harus memilih jalan mana yang ingin kita tempuh untuk mencapai tujuan; haruskah kota belok ke kiri atau mengarah ke kanan. Jika tujuan yang ingin dituju sama, maka itu semua adalah pilihan masing-masing individu. Pun ketika di dunia kerja, kadang kita menemui dilema; akankah meneruskan pekerjaan yang sedang digeluti atau pindah ke karier lainnya karena merasa passion lebih ke arah sana. Lagi-lagi, ini adalah pilihan. Jika memutuskan untuk berganti karier dari satu bidang yang pernah dijalankan ke bidang lainnya, maka itulah yang dinamakan career switch.

 

Apakah career switch itu nyata atau hanya ada di cerita-cerita fiksi saja? Apakah benar, misalnya, ada dokter yang berpindah pekerjaan menjadi pengusaha? Mungkin rekan-rekan pernah menemukan orang yang melakukan itu, atau bahkan pernah melakukannya. Tapi yang jelas, perpindahan karier menjadi sesuatu yang lumrah, apalagi dengan kemudahan akses untuk mempelajari hal-hal baru dewasa ini.

 

Perpindahan karier menjadi semakin mudah dan frekuensinya semakin sering. Latar belakang yang mendorong orang-orang untuk beralih karier bermacam-macam. Dilansir dari CNBC.com, pandemi yang menyebabkan fenomena “The Great Resignation” di Amerika Serikat menyebabkan lebih dari separuh generasi produktif memikirkan karier dan masa depannya setelah terhantam badai pandemi; terlebih bagi generasi muda usia 19-30 tahun yang paling banyak melakukan perpindahan karier di sana. Dan pandemi hanya satu dari sekian alasan banyak orang berbondong-bondong melakukan peralihan karier. CNBC.com melansir ada beberapa alasan orang-orang melakukan career switch, yaitu:

  • Work-life balance (56%)

Dengan adanya sistem Work from Home/Anywhere (WFH/WFA) saat ini, orang-orang mulai sadar bahwa kerja tidak melulu harus berpindah tempat; selain melelahkan, juga menghabiskan biaya. Lalu, jika bisa mengatur waktu dan pekerjaan, kenapa harus diatur lokasi dan pekerjaan? Maka dari itu, orang-orang mulai mencari keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan.

  • Penghasilan lebih baik (50%)

Dengan adanya pandemi, orang-orang mulai berubah dari idealis ke realistis; hidup membutuhkan uang dan pekerjaan yang dilakukan saat ini tidaklah mencukupi itu. Maka penghasilan jadi salah satu penyebab perpindahan karier.

  • Karier menjanjikan (49%)

Masih dilansir dari CNBC, Hannah Kohr melakukan perpindahan karier yang cukup ekstrem; dari pustakawan menjadi desainer produk. Hal itu dia lakukan karena pandemi membuatnya menyadari bahwa karier sebagai pustakawan tidak memiliki jenjang karier yang terlalu menjanjikan. Maka, jika memang jenjang karier kurang jelas, ada baiknya mempertimbangkan untuk mengalihkan karier. Tapi jangan lupa bekali dirimu dengan kemampuan yang sesuai dan menunjang.

  • Memperluas keahlian (43%)

Lumrah jika orang-orang ingin menjadi jack of all trades – orang yang serba bisa – agar memiliki nilai lebih dalam dunia kerja. Selain itu, keahlian atau kepakaran yang luas membuat peluang kerja menjadi semakin luas juga.

  • Ketidakjelasan bisnis di masa depan (27%)

Banyak jenis bisnis yang awalnya terlihat baik-baik saja dan diperlukan menjadi kurang baik dengan ketidakstabilan perekonomian yang melanda. Jika unit usaha tak mampu “bekerja sama” dengan zaman, maka akan tergilas zaman. Memang dibutuhkan visi jauh ke depan untuk melihat apakah rekan-rekan bekerja di bisnis yang rawan tergilas zaman atau tidak. Jika ya, maka tak ada salahnya untuk mengalihkan karier.

 

Perpindahan karier itu baik, tidak ada salahnya, dan lumrah dilakukan. Tapi, untuk pindah atau tidak itu keputusan masing-masing. Hal yang lebih penting adalah bagaimana seseorang memampukan diri agar bisa langsung bekerja dan berkontribusi jika sudah melakukan career switch. Karena, ibarat kata, berperang tanpa persiapan adalah hal yang tak patut dilakukan.

 

Salam #PeopleDevelopment!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gramedia Academy

Promoting people development by conducting trainings and events based on books published by Gramedia Publishers

Telephone. (021) 53677834
WhatsApp. +6287793103435
Email. [email protected]