Berkali-kali pembahasan soal pandemi Covid-19 dan dampaknya pada dunia usaha serta profesional sudah dikemukakan. Bahkan ketika pandemi sudah dianggap sebagai endemi, sedikit banyak dunia usaha serta profesional masih tetap terdampak. Salah satunya adalah gaya kepemimpinan.
Dilansir dari McKinsey, pada era pra-pandemi para pemimpin eksekutif umumnya menginginkan para karyawannya untuk habiskan hampir setiap jam kerja di balik meja. Mereka harus terlihat duduk manis di balik meja kerja atau hanya berkutat di sekitar ruangan saja. Dibalik ekspektasi para pemimpin pra-pandemi tersebut, tersirat bahwa pemimpin lebih senang jika para pegawainya dapat dipantau secara 8-5, lima hingga enam hari sepekan. Artinya, selama jam kerja di hari kerja, pemimpin dapat selalu melihat pergerakan pekerjaan dan para karyawan. Namun hal ini bisa dibilang sebagai sesuatu yang usang, dan pandemi Covid-19 yang jadi pemicunya. Kini, para pemimpin di era pascapandemi dapat dikatakan tak bisa melakukan “kebiasaan” yang telah lalu. Pertanyaan yang kemudian muncul, “Kenapa?”
Pandemi menuntut semua harus berjarak, termasuk dalam bekerja. Semua berubah, termasuk preferensi cara pengawasan yang dilakukan mengingat tidak mungkinnya pengawasan secara langsung, atau direct supervising, dilakukan di tengah pembatasan. Toh, sekarang bekerja sudah bisa dari mana saja. Banyak perkantoran dan dunia usaha yang menerapkan konsep hybrid antara WFO-WFH. Bahkan di awal 2022 sempat populer jargon WFB, Work from Bali, di mana bekerja rasanya bisa sambal liburan di Pulau Dewata.
Dengan ini semua, semesta seperti menyatakan bahwa para pemimpin harus mengubah gaya pengawasannya. Memang lokasi bekerja sudah bukan lagi isu utama pada pola kerja hybrid ini; yang ada hanyalah produktivitas kerja. Tapi, menjaga produktivitas kerja bukan hanya semata-mata permasalahan orang per orang saja. Pemimpin perlu campur tangan di sana agar proses kerja dapat lancar, produktivitas terjaga, dan perushaan tetap berjalan. Lalu, apa sikap yang harus dimiliki agar dapat memimpin di dunia kerja masa kini?
Pemimpin di era pascapandemi perlu:
Dalam hal apa pun, ekspektasi sering kali “membunuh” kita, entah dengan cara perlahan yang menyakitkan atau dengan cepat tak tertahankan; keduanya sama-sama menyakitkan. Pun di dunia kepemimpinan, ekspektasi yang terlalu berlebih juga bisa “membunuh” diri sendiri dan tim. Selain itu, indikator pekerjaan yang kura Dengan keterbatasan yang ada di tengah konsep kerja hibrida ini, perlu ekspektasi serta indikator kerja yang jelas, tak muluk-muluk, dan dapat dicapai.
Bagi pemimpin yang punya trust issue, mungkin ini agak sulit. Tapi percayalah bahwa karyawan akan merasa lebih dihargai jika ada rasa percaya dari pemimpin. Cobalah untuk tidak merasa parno akan hal-hal kecil yang malah membuang tenaga dan pikiran secara sia-sia karena harus melakukan manajemen mikro.
Tidak mudah menjadi seseorang yang mampu ada dan memfasilitasi segalanya di tengah berbagai situasi dan keterbatasan pola kerja hibrida. Pemimpin yang mampu hadir seperti ini akan membuat para pegawainya tenang dan lebih fokus dalam bekerja. Tujuan besarnya adalah produktivitas meningkat dan terjaga.
Sebenarnya ketiga poin di atas dapat dirangkum menjadi satu kata: Fleksibilitas. Pemimpin harus bisa fleksibel dalam menentukan target dan indikator, fleksibel dalam kapan memutuskan harus percaya sepenuhnya atau turun tangan langsung untuk membantu, serta fleksibel dalam segala situasi yang dihadapi dalam pola kerja hibrida.
Yang jelas, semua ini butuh proses, karena yang instan hanyalah mie, bubur, dan kopi. Bisa jadi, seorang pemimpin tersebut butuh berkali-kali percobaan dan kegagalan, waktu, serta pelatihan dan pengembangan diri. Hal yang penting adalah sikap.
Salam #PeopleDevelopment!
Promoting people development by conducting trainings and events based on books published by Gramedia Publishers
Telephone. (021) 53677834
WhatsApp. +6287793103435
Email. [email protected]
WhatsApp Me