Weaponized Incompetence di Dunia Kerja

Dunia kerja bisa unik dan tidak terduga. Masalahnya, dari sekian tahun kita belajar di bangku sekolah dan kuliah, tidak ada yang mengajarkan bagaimana seharusnya kita bersikap, bertindak, dan berperilaku selama ‘berkelana’ di dunia kerja. Terlebih lagi, bisa jadi separuh dari hidup kita akan dihabiskan di dunia kerja. Teman kerja di kantor bisa dianggap sebagai ‘keluarga kedua’ karena hampir sebagian waktu akan kita habiskan dengan mereka, alih-alih keluarga di rumah.

 

Kita akan bertemu berbagai karakter di dunia kerja. Ada yang baik, ada yang buruk; semua itu harus dimaklumi. Bertemu dengan rekan kerja yang baik merupakan anugerah. Tapi jika bertemu dengan yang kurang baik, itu yang bisa jadi masalah. Dan jika menyebutkan karakter buruk di dunia kerja, maka contohnya sangat banyak. Tapi mari bahas salah satunya: weaponized incompetence.

 

Istilah Weaponized Incompetence, yang jika diterjemahkan menjadi ‘ketidakmampuan yang dijadikan alasan’, merupakan fenomena baru di dunia kerja. Sebenarnya istilah ini biasa dipakai pada hubungan sosial, tapi akhir-akhir ini juga dibahas di dunia kerja.

 

Weaponized Incompetence sendiri memiliki definisi perilaku berpura-pura tidak mampu atau gagal dalam mengerjakan sebuah tugas agar tidak perlu mengerjakan tugas tersebut. Gampangnya, “Kalau lo bisa, kenapa harus gue?”

 

Contohnya dalam dunia kerja adalah jika seorang rekan kerja “menugaskan” tugas yang seharusnya dikerjakan sendiri atau tugas yang kompleks dengan alasan merasa tidak mampu atau rekan kerja tersebut lebih dianggap mampu mengerjakannya.

 

Tanpa disadari, sebenarnya fenomena Weaponized Incompetence ini sering kita lakukan di mana pun dan apa pun situasinya. Tapi tidak akan ada asap jika tidak ada apinya; pasti ada situasi yang menyebabkan itu bisa terjadi, misalnya:

  • Manajemen kerja yang kurang jelas

Mengutamakan kolaborasi kerja tapi berujung kesulitan kerja, karena dalam kerja kelompok biasanya akan ada kecenderungan salah satu atau sekian anggota yang tidak bekerja maksimal karena merasa “tidak mampu.”

  • Penyalahgunaan otoritas

Biasa terjadi pada karyawan muda yang baru masuk. Dia “diplonco” karyawan yang lebih senior untuk mengerjakan tugas-tugas yang bahkan bukan deskripsi tugasnya dengan alasan anak mudah lebih melek teknologi, kerjanya lebih cepat, dan lain sebagainya.

 

Nah, tanda-tanda yang muncul dari seseorang yang menjadikan ketidakmampuannya sebagai senjata atau alasan adalah umumnya orang tersebut menyatakan bahwa dia tidak mengerti atau tidak paham. Lalu biasanya dilanjutkan dengan frase “lebih … daripada.” Misalnya, “Kamu ‘kan anak muda, lebih pinter komputer daripada saya.” Dan berikutnya yang paling jelas adalah terus membuat kesalahan atau menampilkan performa buruk saat ditugaskan. Ini yang biasanya paling mencolok.

 

Dinamika ini mungkin akan sering terjadi dan bukan tidak mungkin rekan-rekan akan mengalaminya. Kalau memang teman kerja tersebut tidak bisa melakukan tugas tersebut, ada baiknya memang dibantu. Karena sebaik-baiknya kerja tim, akan lebih baik jika kerja tim yang dilakukan bersama dan selesai sempurna. Tapi tidak mungkin juga kita harus terus menghadapi hal-hal seperti ini, bukan? Kalau terus menghadapi yang seperti ini, yang ada energi akan habis meladeni drama-drama yang tidak penting. Pekerjaan tertunda, drama dunia kerja merajalela.

 

Jika memang mengalami situasi Weaponized Incompetence, akan lebih baik jika rekan-rekan:

  • Memberi batasan

Tetapkan seberapa jauh rekan-rekan bisa memberi bantuan. Jika sudah melewati batasan, lebih baik dikatakan karena jangan sampai pekerjaan malah tertunda karena mengerjakan tugas yang sebetulnya bukan tugas kita.

  • Sampaikan keberatan

Adakalanya, rekan kerja meminta bantuan karena dia melihat kita sedang tidak melakukan apa-apa; padahal pekerjaan masih banyak. Sampaikan saja bahwa load pekerjaan rekan-rekan sedang banyak dan mungkin dia harus menunggu untuk dibantu.

 

Weaponized Incompetence memang tidak terlalu berbahaya bagi dunia kerja, tapi jangan sampai itu membuat dampak yang merusak hubungan pertemanan dan pekerjaan di lingkungan kerja. Kita harus mampu memilah dan memilih apakah rekan kerja benar-benar butuh bantuan atau hanya merasa tidak mampu agar bisa melimpahkan tugas pada orang lain. Semoga juga rekan-rekan tidak menjadi salah satu ‘pelakunya.’

 

Salam #PeopleDevelopment!

 

Sumber:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Gramedia Academy

Promoting people development by conducting trainings and events based on books published by Gramedia Publishers

Telephone. (021) 53677834
WhatsApp. +6287793103435
Email. [email protected]